Fenomena nikah siri di kalangan masyarakat Indonesia, makin beraroma santer, setelah terungkapnya kasus nikah siri di kalangan artis. Kasus paling fenomenal menimpa artis pembuat sensasi, Dewi Persik, dengan dugaan telah melakukan dua kali nikah siri dengan dua pria di masa iddah.
Memang kebenaran informasi tersebut, masih dalam daftar buruan produser infotainment. Benar atau tidaknya nanti, masih menunggu kejujuran Dewi Persik. Selain kasus Dewi Persik, ada sederetan nama artis lainnya yang pada akhirnya mengaku telah nikah siri. Hal itu mereka akui, setelah publik mencurigainya telah melakukan sex pra nikah sebelum resmi menjadi suami istri.
Agak mengherankan memang, ketika suatu ikatan yang dibolehkan agama, harus ditutup-tutupi. Walau ada yang beralasan, demi kontrak kerja yang tidak membolehkan menikah. Alasan ini sedikit masuk akal, karena akibat memutus kontrak kerja agak berat.
Lalu apa pengertian nikah siri yang sebenarnya? Menurut Ust. Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf di Majalah Al Furqan Edisi 12 th III, tentang Nikah Sirri, dikatakan, bahwa nikah siri ada dua jenisnya. Pertama, nikah yang dilakukan tanpa wali, dan kedua pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali dan terpenuhi syarat syarat lainnya, tetapi tidak dicatat di KUA setempat.
Maka, untuk pernikahan yang dilakukan tanpa adanya wali dari pihak wanita, maka pernikahan seperti ini adalah batil dan tidak sah. Demikian madhzhab dari kebanyakan ulama. Dalilnya berdasarkan Firman Allah (yang artinya)
“Apabila kamu menceraikan istri istrimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka nikah dengan (mantan) suami mereka …” (Al Qur’an 2: 232).
Sebab turunnya ayat ini, yaitu: Dari Hasan Al Bashri berkata, “Ma’qil bin Yasar menceritakan kepadaku bahwa ayat (Janganlah engkau menghalangi mereka) turun mengenai dirinya”. Beliau berkata selanjutnya, “Saya menikahkan saudariku dengan seseorang, lalu dia menceraikannya sampai tatkala sudah habis masa iddahnya, lalu dia datang lagi untuk meminangnya.
Maka saya pun berkata padanya, “Saya telah menikahkan engkau dan memuliakanmu lalu engkau menceraikannya,
kemudian sekarang engkau datang untuk meminangnya lagi, Demi Allah engkau tidak akan kembali lagi padanya selama lamanya.” Padahal sebenarnya dia itu seseorang yang tidak bermasalah, juga saudariku pun ingin kembali padanya.
Maka turunlah firman Allah : (Janganlah engkau menghalangi mereka). Maka saya berkata : “Sekarang saya akan melakukannya Ya Rasulullah.” Lalu saya pun menikahkan keduanya.” (HR. Bukhari 5130, Abu Dawud 2087,
Tirmidzi 2981).
Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah berkata : “Ayat ini adalah dalil yang paling tegas tentang disyaratkannya wali, karena seandainya tidak ada, maka larangannya tidak akan berarti. Imam Ibnul Mundzir menyebutkan bahwa tidak
diketahui ada seorang sahabat pun yang menyelisihi hal ini. ” (Fathul bari 9 / 187).
Dari hadits kita ketahui, Dari Aisyah Radhiyallahu’anha berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya bathil – tiga kali-” (HR. Ahmad 6/156, dll dengan sanad shahih. Lihat Al Irwa 6/242/1840).
Kemudian, Pernikahan dipandang sah bila dipenuhi syarat dan rukunnya, yaitu, adanya calon suami dan calon istri, adanya wali, adanya dua saksi yang adil dan ijab dan qobul. Dengan demikian pernikahan dipandang sah bila terpenuhi syarat rukun tersebut, meskipun tidak dicatatkan di KUA.
Al Ustadz Ahmad Sabiq menasehati, apabila pemerintah Muslim di sebuah negeri memerintahkan untuk melaporkan
akad nikah pada suatu badan resmi semacam KUA dan semisalnya, maka wajib menjalankannya. Sebab kedua, untuk menjaga diri dari hal hal yang membuat orang berburuk sangka pada kita adalah sesuatu yang diperintahkan.
Lalu bagaimana hukumnya kalau nikah tanpa diwakili kedua belah pihak keluarga, apakah sudah sah menurut agama Islam? Syarat sahnya suatu pernikahan adalah dengan adanya wali dan dua orang saksi, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Artinya, tidak sah nikah seseorang kecuali dengan dihadiri wali dan dua orang saksi yang adil” [Hadits Riwayat Daruqutny]
Dan berdasarkan hadits yang lainnya, “Pelacur adalah wanita yang menikah sendiri tanpa ada bukti (wali dan saksi)” [Hadits Riwayat At-Tirmidzi]. Dan Umar pernah mendapat laporan bahwa ada orang yang menikah hanya disaksikan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka beliau berkata, “Demikian itu adalah nikah sirri (rahasia), sendainya aku menemuinya, maka aku akan merajamnya” [Hadits Riwayat Malik dalam kitab Al-Muwaththa']. Dan berdasarkan perkataan Ibnu Abbas : “Tidaklah suatu pernikahan dianggap sah bila tidak dilandasi bukti (wali dan saksi).
Setelah memaparkan hadits-hadits tentang wali dan saksi dalam pernikahan Imam At-Tirmidzi berkata : “Pendapat yang disepakati para ulama dari kalangan sahabat dan tabi’in, adalah pendapat yang mengatakan bahwa wali dan saksi adalah syarat sahnya pernikahan, dan tidak sah pernikahan yang tidak dihadiri wali dan dua orang saksi yang adil”.
Dan pendapat ini sesuai dengan tujuan dari syari’at Islam, yaitu melindungi kehormatan, menjaga kemurnian nasab, menghalangi perzinaan dan kejahatan serta mengantisipasi terjadinya keretakan dalam kehidupan rumah tangga. Adapun pernikahan seorang muslim dengan wanita ahli kitab adalah tidak sah kecuali dengan hadirnya wali dan dua orang saksi muslim, ini menurut pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’i sesuai dengan maksud hadits dan atsar juga tujuan syari’at.
Selain nikah siri, ada lagi nikah jenis lainnya beredar di tengah-tengah masyarakat kurang beriman. Seperti di Cisarua, dikenal dengan adanya ‘Nikah Kilat’ alias nikah kontrak/mut’ah. Adapun nikah mut’ah adalah nikah dalam jangka waktu tertentu, sehingga apabila waktunya telah habis maka dengan sendirinya nikah tersebut bubar tanpa adanya talak.
Dalam nikah mut’ah si wanita yang menjadi istri juga tidak mempunyai hak waris jika si suami meninggal. Dengan begitu, tujuan nikah mut’ah ini tidak sesuai dengan tujuan nikah menurut ajaran Islam sebagaimana disebutkan di atas, dan dalam nikah mut’ah ini pihak wanita teramat sangat dirugikan. Oleh karenanya nikah mut’ah ini dilarang oleh Islam.
Dalam hal ini syaikh al-Bakri dalam kitabnya I’anah at-Thalibin menyatakan, “Kesimpulannya, nikah mut’ah ini haram hukumnya. Nikah ini disebut nikah mut’ah karena tujuannya adalah untuk mencari kesenangan belaka, tidak untuk membangun rumah tangga yang melahirkan anak dan juga saling mewarisi, yang keduanya merupakan tujuan utama dari ikatan pernikahan dan menimbulkan konsekwensi langgengnya pernikahan”.
Memang benar bahwa nikah mut’ah ini pernah dibolehkan ketika awal Islam, tapi kemudian diharamkan, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim, “Yang benar dalam masalah nikah mut’ah ini adalah bahwa pernah dibolehkan dan kemudian diharamkan sebanyak dua kali; yakni dibolehkan sebelum perang Khaibar, tapi kemudian diharamkan ketika perang Khaibar. Kemudian dibolehkan selama tiga hari ketika fathu Makkah, atau hari perang Authas, kemudian setelah itu diharamkan untuk selamanya sampai hari kiamat”.
Alasan kenapa ketika itu dibolehkan melaksanakan nikah mut’ah, karena ketika itu dalam keadaan perang yang jauh dari istri, sehingga para sahabat yang ikut perang merasa sangat berat. Dan lagi pada masa itu, masih dalam masa peralihan dari kebiasaan zaman jahiliyah. Jadi wajar jika Allah memberikan keringanan (rukhshah) bagi para sahabat ketika itu.
Ada pendapat yang membolehkan nikah mut’ah ini berdasarkan fatwa sahabat Ibnu Abbas r.a., padahal fatwa tersebut telah direvisi oleh Ibnu Abbas sendiri, sebagaimana disebutkan dalam kitab fiqh as-sunnah, “Diriwayatkan dari beberapa sahabat dan beberapa tabi’in bahwa nikah mut’ah hukumnya boleh, dan yang paling populer pendapat ini dinisbahkan kepada sahabat Ibnu Abbas r.a., dan dalam kitab Tahzhib as-Sunan.
Sedangkan Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah ini tidaklah secara mutlak, akan tetapi hanya ketika dalam keadaan dharurat. Akan tetapi ketika banyak yang melakukannya dengan tanpa mempertimbangkan kedharuratannya, maka ia merefisi pendapatnya tersebut. Ia berkata: “inna lillahi wainna ilaihi raji’un, demi Allah saya tidak memfatwakan seperti itu (hanya untuk kesenangan belaka), tidak seperti itu yang saya inginkan.
Saya tidak menghalalkan nikah mut’ah kecuali ketika dalam keadaan dharurat, sebagaimana halalnya bangkai, darah dan daging babi ketika dalam keadaan dharurat, yang asalnya tidak halal kecuali bagi orang yang kepepet dalam keadaan dharurat. Nikah mut’ah itu sama seperti bangkai, darah, dan daging babi, yang awalnya haram hukumnya, tapi ketika dalam keadaan dharurat maka hukumnya menjadi boleh”
Namun demikian, pendapat yang menghalalkan nikah mut’ah tersebut tidaklah kuat untuk dijadikan dasar hukum. Sedangkan pendapat yang mengharamkannya dasar hukumnya sangat kuat, sebab dilandaskan di atas hadis shahih sebagai berikut, “Diriwayatkan bahwa sahabat Ali r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. melarang nikah mut’ah ketika perang Khaibar” Hadis dianggap shahih oleh imam Bukhari dan Muslim.
“Diriwayatkan bahwa sahabat Salamah bin al-Akwa’ r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. memperbolehkan nikah mut’ah selama tiga hari pada tahun Authas (ketika ditundukkannya Makkah, fathu Makkah) kemudian (setelah itu) melarangnya” HR. Muslim.
“Diriwayatkan dari Rabi’ bin Sabrah r.a. sesungguhnya rasulullah s.a.w. bersabda: “wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan nikah mut’ah, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, oleh karenanya barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut’ah maka segera lepaskanlah, dan jangan kalian ambil apa yang telah kalian berikan kepada wanita yang kalian mut’ah” HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban.
Selain nikah beda jenis kelamin, di luar negeri mulai banyak pula nikah satu jenis kelamin. Lelaki nikah sama lelaki dan wanita nikah sesama wanita. Mereka berasalan kalau hal ini Hak Azazi Manusia (HAM). Mau nikah nikah sejenis atau beda jenis, terserah pada yang bersangkutan. Pemerintah hanya bertugas menjadi fasilitas, agar mereka diakui negara.
Beberapa warga Indonesia yang memiliki hasrat sejenis, sudah ada yang lari ke Belanda atau negara lainnya, untuk bisa nikah sejenis. Bahkan gerakan kaum gay atau lesbian ini, bisa saja membesar jika kekuatannya terus bertambah. Bukan tidak mungkin, mereka akan berdemo besar-besaran, kalau waktunya sudah tiba.
Selanjutnya ada nikah secara poligami, yakni seorang lelaki menikahi 4 wanita dengan cara yang legal dan syah. Banyak kaum wanita yang sok membela HAM, menentang praktek halal dan legal yang satu ini. Kasus Syekh Puji, menandakan tingkat kebencian kaum wanita teramat tingginya. Tentunya sangat berbeda sekali, saat mendapati wanita yang dipajang di night club atau tempat pelacuran lainnya. Kaum wanita banyak diam, bahkan terkesan mendiamkan kasus jual beli wanita tersebut.
Berikut ada juga kasus poliandri, di mana satu wanita menikahi beberapa orang lelaki dalam satu masa tertentu. Inilah kebanyakan yang dilakoni wanita yang mau dikawin kontrak. Dalam sebulan, mereka bisa dinikahi dua sampai 10 lelaki. Semua tergantung kontrak, jika hanya dua hari, maka makin banyak ia bisa menikahi lelaki benyak uang.
Memang motivasi sebagian wanita yang notabene menikahi lelaki Arab yang lagi berkunjung ke Indonesia, hanya semata masalah mahar besar semata. Sehingga mereka menjadikan acara pernikahan yang sakral menjadi permainan belaka. Padahal dalam Islam, seorang istri yang sudah dicerai, harus menunggu 3 kali suci berturut-turut, sebelum akhirnya menikah lagi.
Selain beberapa macam nikah yang ini, dalam masyarakat juga berkembang seks bebas tanpa ikatan. Semua pelaku seks bebas mengaku melakoninya demi tujuan nafsu semata. Kelompok kumpul kebo ini, juga tidak sedikit jumlahnya dan dilakoni tidak hanya generasi muda tapi juga yang sudah tua.
Pelakunya juga bebas melakukannya di mana saja, di tempat mana ia suka. Mereka pun bubar atas dasar keinginan bersama, agar bisa lepas memacari siapapun yang ia ingini. Tidak sedikit, di antara pelaku seks bebas yang akhirnya berprofesi sebagai pelacur. Bagi yang bertampang lumayan, maka hotel menjadi tempat mangkal. namun yang berwajah pas-pasan, di mana pun mau di booking.
Dari kasus ini, pernikahan yang menguntungkan wanita hanya pernikahan dengan lelaki tidak beristri ataupun yang poligami saja. Di mana pernikahannya dicatat secara sah dan legal. Anak yang lahir juga dapat hak waris, sebagaimana yang dibolehkan Islam. Untuk yang berpoligami, disyaratkan harus adil, agar si lelaki tidak teraniaya di akhirat, bila tidak berlaku adil.
Sayang sekali, banyak yang lari dari pernikahan legal dan lebih memilih yang ilegal. Anehnya, pernikahan ilegal tidak menyulut amarah para pembela HAM wanita, di mana mereka terkesan diam dengan adanya tempat pelacuran. Tidak ada gerakan untuk membebaskan wanita di pelacuran, sebagaimana semangat mereka membebaskan Ulfa dari pernikahannya dengan Syekh Puji. Hendri Nova
0 komentar:
Post a Comment