Oleh arixs
| |
Untuk itulah di dalam kurikulum yang baru - KBK maupun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) - anak diberi mata pelajaran Teknologi Informasi (TI). Diharapakan mata pelajaran TI ini akan berperan dalam mengantisipasi pengaruh negatif zaman global, selain memepercepat penguasaan ilmu pengetahuan. Penggunaan TI yang tidak terkontrol bisa menjadi sumber malapataka kemanusian pada anak. Contoh, situs-situs porno bisa memicu anak untuk berbuat yang asusila. Demikian pula beberapa kejahatan sudah sering terjadi akibat canggihnya TI. Canggihnya TI berakibat anak begitu cepat terkena pengaruh negatif karena lemahnya pendidikan humanihora baik dalam pendidikan formal maupun pendidikan nonformal. Dalam pendidikan formal tingkat dasar (PAUD, TK, dan SD), misalnya, humaniora itu masuk ke dalam aktivitas mendongeng (bersastra). Sastra telah menjadi media pengembangan imajinasi anak dan penumbuhan jiwa budi pekerti. Jangan diartikan sastra itu khayalan belaka, melainkan media untuk berimajinasi. Sayang, media untuk pengembangan imajinasi anak ini makin kurang mendapat perhatian. Bagaimana dengan media massa yang menjadi bagian pendidikan nonformal? Beberapa media massa sudah peduli terhadap pendidikan humanihora lewat rubrik seni budaya, sastra. Sastra adalah cermin dari persoalan manusia yang ada di masyarakat. Menurut Mokhtar Lubis(1997), tiap kali bicara masalah sastra, kita bicara masalah manusia dan masyarakat. Berangkat dari pikiran Mokhtar Lubis itu tentu rubrik sastra dalam surat kabar bermaksud meningkatkan kualitas pikiran manusia yang hidup bermasyarakat. Sastra berkaitan erat dengan pembangunan karakter manusia yang berbudaya, berbudi pekerti. Kalau tetua kita mendidik anak cucunya dengan cara bercerita atau bersastra, pastilah bermaksud memberi pendidikan etika, moral, riligius, hingga cara bernalar. Nilai-nilai pendidikan humaniora ini akan menjadi bekal kehidupannya nanti untuk menjadi manusia yang bermartabat. Mokhtar Lubis, seorang tokoh di bidang pers dan sastrawan, dalam bukunya “Manusia Indonesia”, ia banyak menyoroti karakter manusia Indonesia. Salah satu karakter manusia Indonesia menurut Mokhtar Lubis adalah percaya pada takhayul, di samping yang lainnya seperti lemah karakternya, enggan beratanggung jawab atas perbuatannya, menyuburkan ABS. Salah satu ciri manusia yang karakternya lemah adalah mudah diprovokasi, “kurang PD”. Merasakah kita seperti yang dikatakan Mokhtar Lubis itu? Tentu ada yang merasa, ada yang tidak. Berdasarkan fenomena yang ada, tampaknya sampai kini masyarakat kita masih banyak, seperti diungkapkan Mokhtar Lubis, percaya pada takhyul. Contoh, pernah terjadi gara-gara orang kerauhan berkait dengan ular, seperti terjadi di Jalan Gatot Subroto Denpasar, hewan itu dihaturi banten. Nyatanya, ular itu adalah milik seseorang yang kebetulan keluar kandang karena ditinggal. Fenomena percaya pada takhayul bukan terjadi di Bali saja. Mokhtar Lubis banyak bercerita tentang manusia yang terbawa takhayul, tanpa punya pikiran kritis menghadapi persoalan hidup, seperti dalam bukunya “Harimau Harimau”. Tentu yang namanya takhayul adalah sesuatu yang ada dalam khayal belaka, beda dengan keyakinan terhadap agama yang berdasarkan pustaka suci, kebenaran yang bisa dipertanggungjawabkan dari sisi keilmuan. Takhayul tidak akan menuntun manusia untuk bekerja keras, melainkan menanti nasib saja sehingga malas bekerja. Agar tidak percaya begitu saja pada takhayul, penggalian nilai-nilai agama dan pendidikan humaniora menjadi solusinya. Srat kabar yang ingin mempertahankan misinya sebagai media pendidikan humaniora, tentulah memberikan tempat seni sastra untuk berkiprah dalam membina karakter pembaca, khususnya generasi muda. Generasi muda yang punya potensi di bidang seni sastra akan memanfaatkan rubrik itu. Seorang Putu Wijaya, misalnya, yang kini menjadi penulis papan atas adalah lahir dari harian Suluh Indonesia (kini Bali Post) dengan cerpennya berjudul “ETSA”. Banyak pembaca telah dicerdaskan oleh rubrik humaniora yang disuguhkan surat kabar, lebih-lebih karena budaya bercerita dari kalangan tua kepada anak makin punah. Salah satu tumpuannya pastilah surat kabar yang masih peduli pada nilai-nilai humaniora. Hendaknya misi pendidikan humaniora di surat kabar dipertahankan. Masyarakat penjunjung nilai humaniora, tentu bangga jika nanti lahir lagi “Putu Wijaya” berikutnya. Seorang anak yang punya potensi menjadi seorang penulis tidak akan tumbuh begitu saja jika tidak ada media yang memberi peluang. Sangat kecil kemungkinannya orang bisa menjadi penulis besar tanpa mulai menulis yang sederhana. Dalam konteks kekinian TI akan membantu anak dalam mengembangkan potensinya. Majunya TI tetap membutuhkan pendidikan humaniora. Jika diabaikan, TI akan mengancam nilai-nilai kemanusian. Sampai kapan pun, secanggih apa pun teknologi, pendidikan humaniora tetap dibutuhkan untuk memanusiakan manusia. • IGK Tribana Guru SMAN 6 Denpasar |
http://www.cybertokoh.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=2306
0 komentar:
Post a Comment