MENGUKUR TINGKAT KEMATANGAN PEMANFAATAN
TEKNOLOGI INFORMASI UNTUK INSTITUSI PENDIDIKAN
ABSTRAK
Salah satu ciri institusi pendidikan modern dewasa ini adalah dilibatkannya teknologi informasi dalam proses
penyelenggaraan kegiatan pendidikan. Telah banyak ditemukan di mana-mana lembaga pendidikan mulai dari
tingkat taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi yang berlomba-lomba memanfaatkan teknologi ini dalam
rangka meningkatkan kinerja belajar mengajar yang dilakukan. Terlepas dari berbagai spektrum pemanfaatan
teknologi informasi pada sistem pendidikan – yang menurut teori paling tidak terdiri dari tujuh peranan utama dan
sejumlah fungsi pendukung – kunci utama keberhasilannya terletak pada kesiapan para pemegang kepentingan
(stakeholder) terkait. Dalam konteks ini, paling tidak peranan dan pandangan pemerintah, orang tua, kepala
sekolah, pengajar, karyawan, dan peserta ajar akan sangat menentukan akselerasi implementasi teknologi tersebut
di sebuah lembaga pendidikan. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana sebuah institusi pendidikan dapat
mengukur tingkat keberhasilan pencapaian pemanfaatan teknologi informasi yang ada. Dengan berpegang pada
prinsip bahwa semakin tinggi tingkat keperdulian (awareness) para stakeholder institusi pendidikan akan semakin
mempercepat implementasi dan mempertinggi manfaat teknologi informasi yang dimiliki, maka perlu dikembangkan
sebuah kerangka pengukuran tingkat kematangan pihak pemegang kepentingan tersebut. Artikel ini memberikan
suatu usulan bagaimana caranya mengukur secara kuantitatif tingkat kesiapan para stakeholder yang dimaksud
dengan menggunakan metode kematangan (maturity model) yang banyak dipergunakan dalam berbagai kasus yang
membutuhkan hal serupa.
Kata kunci: tingkat kematangan (maturity model), pendidikan, pemilik kepentingan (stakeholder).
1. KONTEKS TI DALAM SISTEM
PENDIDIKAN
Fenomena keterlibatan TI (baca: Teknologi
Informasi) di dunia pendidikan telah menggejala di
berbagai negara, tak terkecuali Indonesia. Belajar
dari penerapan teknologi ini di beragam lembaga
pendidikan yang ada, paling tidak diketemukan tujuh
konteks atau peranan TI yang dimaksud. Pertama,
berasal dari kesadaran bahwa TI merupakan sumber
dari ilmu pengetahuan. Kenyataan ini dipicu dari
dihubungkannya berbagai sumber dan pakar ilmu
pengetahuan melalui sebuah jejaring raksasa yang
difasilitasi oleh teknologi internet. Kedua, adalah
fungsi TI sebagai alat bantu atau sarana
penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar maupun
aktivitas pembelajaran. Hal ini terkait dengan
semakin banyaknya para guru dan dosen
menggunakan berbagai peralatan teknologi untuk
membantu mereka memberikan penjelasan materi
ajar yang ada dalam berbagai bentuk ilustrasi visual
atau multi media yang menarik. Ketiga, merupakan
sebuah kondisi dimana pemahaman dan keterampilan
memanfaatkan TI dalam meningkatkan kinerja
penyelenggaraan pendidikan menjadi prasyarat
kompetensi yang harus dimiliki oleh sejumlah aktor
utama pendidikan, seperti guru, dosen, siswa,
peneliti, dan manajemen institusi pendidikan. Dalam
kerangka inilah maka sejumlah sekolah telah
mengharuskan pemberi maupun penerima mata ajar
pengetahuan untuk memiliki kompetensi dan
keahlian minimum dalam menggunakan peralatan
berbasis TI. Keempat, bermula dari kemampuan TI
dalam mentransformasikan berbagai bentuk
organisasi yang banyak bergantung pada sumber
daya fisik menjadi institusi virtual dengan dominasi
sumber daya elektronis. Konsep e-library, virtual
class, digital dashboard, distance learning, dan
electronic laboratory merupakan sejumlah contoh
penerapan TI pendidikan yang mampu
mentransformasikan konsep pendidikan masa kini.
Kelima, merupakan konteks yang dilihat dari sisi
Prosiding Konferensi Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi untuk Indonesia
3-4 Mei 2006, Aula Barat & Timur Institut Teknologi Bandung
117
institusi penyelenggara pendidikan, dimana TI
dipergunakan sebagai teknologi untuk membantu
manajemen atau tata kelola rangkaian aktivitas
pendidikan. Seperti halnya sebuah organisasi
komersial semacam perusahaan, institusi pendidikan
moderen akan menerapkan sistem administrasi
berbasis teknologi digital, seperti untuk melakukan
beraneka ragam kegiatan seperti: mencatat absensi
guru dan siswa, merekam aktivitas pembelajaran
sehari-hari, memperbaharui rekam jejak guru dan
kemajuan siswa, mengalokasikan sumber daya
terbatas seperti kelas dan sarana penunjang lainnya,
menginformasikan hasil ujian ke siswa via multi
kanal (internet, telepon genggam, dan lain-lain),
melakukan komunikasi secara interaktif antar
pemegang kepentingan (melalui email, mailing list,
newsgroup, dan lain-lain), dan aktivitas terkait
lainnya. Keenam, mengambil posisi dari
dipergunakannya beragam aplikasi TI untuk
menganalisa kinerja penyelenggaraan pendidikan
guna diproduksinya sejumlah keputusan maupun
kebijakan demi peningkatan kinerja institusi.
Aplikasi semacam sistem informasi eksekutif,
decision support system, dashboard management,
sistem pakar, sistem informasi manajemen, dan lain
sebagainya merupakan sejumlah ragam penerapan TI
yang dimaksud. Dan ketujuh, merupakan muara dari
keenam konteks yang ada, yaitu disadarinya TI
sebagai sebuah infrastruktur pendidikan moderen.
Dengan kata lain, peralatan berbasis digital ini mau
tidak mau harus mampu dimiliki atau diakses oleh
setiap lembaga pendidikan yang dimaksud. Terkait
dengan hal ini, kesadaran dalam mensisihkan
sejumlah sumber daya finansial untuk alokasi
investasi TI dianggap sebagai sebuah keharusan.
GAMBAR: KONTEKS TI DI DUNIA PENDIDIKAN
2. TUNTUTAN PEMEGANG KEPENTINGAN
Dengan memperhatikan trend global di dunia
pendidikan, maka jika dilihat secara cermat, masingmasing
konteks atau peranan TI yang telah
dikemukakan di atas memiliki pemilik
kepentingannya (stakeholder) masing-masing.
Berikut adalah inti sari dari posisi stakeholder yang
dimaksud terkait dengan posisi masing-masing
konteks TI dengan tipe stakeholder:
• Orang tua atau mereka yang mensponsori
peserta didik untuk masuk ke sebuah institusi
tertentu akan melakukan seleksi terhadap
berbagai lembaga pendidikan sejenis yang
menawarkan jasa-jasanya. Dianutnya
paradigma TI sebagai sumber ilmu
pengetahuan akan menjadi salah satu kriteria
utama yang dipakai oleh mereka dalam
menentukan pilihannya.
• Siswa yang masuk ke sebuah institusi
pendidikan akan menilai kualitas
penyelenggaraan pendidikannya dari
dipergunakannya beragam aplikasi TI oleh
para pengajar atau tidak, karena hal itu
merupakan ciri pendidikan moderen masa
kini.
• Yayasan atau pemilik institusi pendidikan
yang ada tentu saja akan mengalokasikan
sejumlah sumber daya keuangannya untuk
diinvestasikan dalam bentuk pengembangan
ragam aplikasi TI sebagai bagian dari
transformasi bentuk penyelenggaraan
pendidikan.
• Tenaga pengajar yang akan direktrut oleh
sebuah lembaga institusi pendidikan di masa
mendatang tentu saja yang harus memiliki
kompetensi dan keahlian dalam hal
menggunakan dan memanfaatkan komputer
dan peralatan teknologi terkait lainnya.
• Karyawan lembaga pendidikan pun harus
terampil menggunakan beragam aplikasi TI
untuk mendukung tugas dan aktivitas
operasional mereka sehari-hari dalam
mengelola berbagai hal dan keperluan terkait
dengan penyelenggaraan kegiatan belajar
mengajar.
• Pimpinan lembaga pendidikan, yang memiliki
tanggung jawab tertinggi dalam hal efektivitas
penyelenggaran jasa yang ditawarkan, harus
mampu melakukan analisa, pengawasan, dan
penilaian terhadap jalannya institusi yang
dipimpin. Oleh karena itu, yang bersangkutan
akan membutuhkan sejumlah aplikasi TI
untuk menunjang kegiatan strategis tersebut.
Prosiding Konferensi Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi untuk Indonesia
3-4 Mei 2006, Aula Barat & Timur Institut Teknologi Bandung
118
• Pemerintah dalam hal ini, sebagai pemegang
kebijakan tertinggi dalam sistem pendidikan di
tanah air, harus mampu membuat terobosan
agar setiap institusi pendidikan nantinya tidak
mengalami kesulitan dalam mengadakan atau
mengakses berbagai infrastruktur teknologi
yang diperlukan dalam meningkatkan kinerja
penyelenggaraan belajar mengajar tersebut.
GAMBAR: PEMEGANG KEPENTINGAN TI PENDIDIKAN
3. PENGUKURAN TINGKAT
KEMATANGAN STAKEHOLDER
Dengan berpegang pada ketujuh tipe stakeholder
tersebut, maka dapat dibuat sebuah pendekatan
ringkas pengukuran tingkat kematangan para
stakeholder tersebut. Mengacu pada standar tingkat
kematangan yang diprakarsai oleh Software
Engineering Institute – ketika yang bersangkutan
memperkenalkan konsep Capability Maturity Model
– dan diadopsi oleh sejumlah pakar dan praktisi
dalam berbagai pendekatan konsep serupa, ada enam
level kematangan yang dimaksud. Dalam konteks
implementasi TI bagi pendidikan, keenam tingkatan
yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Tingkat Istilah Keterangan
0 Ignore Tidak perduli
1 Aware Perduli, tanpa aktivitas.
2 Plan Ada rencana, tanpa aksi.
3 Execute Menerapkan aplikasi.
4 Measure Mengukur kinerja.
5 Excel Meningkatkan kualitas.
TABEL: TINGKAT KEMATANGAN STAKEHOLDER
Seorang pemegang kepentingan atau stakeholder
dikatakan berada pada level 0 jika yang bersangkutan
sama sekali tidak perduli dengan konteks TI dalam
dunia pendidikan. Sementara nilai 1 diberikan kepada
mereka yang secara paradigmatik sepakat akan
pentingnya TI untuk pendidikan, namun tidak
memperlihatkan sejumlah usaha atau aktivitas yang
mendukung prinsip tersebut. Selanjutnya angka 2
diberikan kepada stakeholder yang telah memiliki
rencana untuk menjalankan sejumlah aksi terkait
dengan pengadaan dan implementasi aplikasi yang
ada sesuai dengan peranannya, namun belum
melakukan kegiatan nyata apapun (baca: rencana di
atas kertas). Tingkat minimum yang ditargetkan
adalah 3, dimana stakeholder yang dimaksud telah
secara sungguh-sungguh menerapkan aplikasi atau
peranan TI yang dimaksud dalam wilayah
kepentingannya. Level berikutnya adalah 4, dimana
sang stakeholder telah berani melakukan pengukuran
secara kuantitatif maupun kualitatif terhadap tingkat
efektivitas atau kesuksesan penerapan TI yang ada.
Dan akhirnya nilai tertinggi 5 diberikan kepada
stakeholder yang secara kontinyu dan
berkesinambungan berusaha untuk meningkatkan
kualitas implementasi TI-nya (baca: best practice).
Memperhatikan bahwa setiap stakeholder memiliki
sifat dan karakteristik yang unik, maka tabel
kematangan yang ada perlu dikembangkan lebih
lanjut agar lebih mencerminkan keadaan perilaku
yang sebenarnya. Contohnya misalnya untuk
stakeholder orang tua atau sponsor siswa. Arti dari
angka kematangan tersebut jika diimplementasikan
dalam konteks kebutuhan mereka adalah sebagai
berikut:
0. Jika yang bersangkutan tidak perduli
apakah siswa yang disponsorinya akan
diserahkan kepada lembaga yang
menerapkan TI atau tidak.
1. Jika yang bersangkutan perduli akan perlu
adanya TI dalam sebuah institusi
pendidikan, namun tidak dijadikan kriteria
signifikan dalam pemilihan lembaga
pendidikan bagi siswa.
2. Jika yang bersangkutan memberikan
nasehat kepada siswa untuk memilih hanya
institusi pendidikan yang di dalamnya telah
memanfaatkan TI sebagai fasilitas dan
sarana penunjang kegiatan belajar
mengajar.
3. Jika yang bersangkutan mengharuskan
siswa yang disponsorinya untuk melamar
hanya pada institusi pendidikan yang telah
menerapkan TI.
4. Jika yang bersangkutan mengadakan
komparasi antara satu institusi dengan
lainnya dalam hal efektivitas penerapan TI
di lembaga tersebut.
5. Jika yang bersangkutan hanya mau
mensponsori siswa terkait dapa institusi
pendidikan yang dikenal sebagai lembaga
Prosiding Konferensi Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi untuk Indonesia
3-4 Mei 2006, Aula Barat & Timur Institut Teknologi Bandung
119
terbaik dalam menerapkan TI untuk belajar
mengajar.
Dengan melakukan hal yang sama terhadap semua
tipe stakeholder, tabel yang diinginkan pun dapat
dibangun.
GAMBAR: TINGKAT KEMATANGAN DAN PERILAKU BERAGAM STAKEHOLDER TI PENDIDIKAN
4. NILAI STRATEGIS PENGUKURAN
Seperti halnya pada konsep yang lain, mengukur
tingkat kematangan pemanfaatan TI di dunia
pendidikan akan memberikan sejumlah manfaat
sebagai berikut:
• Mengetahui sejauh mana sebuah institusi telah
memanfaatkan secara penuh potensi TI bagi
kebutuhan peningkatan kinerja pendidikan
tinggi;
• Mengkaji kesiapan stakeholder sebuah
institusi pendidikan saat ini untuk
dipersiapkan manajemen perubahan yang
cocok;
• Memperkirakan resiko yang akan dihadapi
dalam proses sosialisasi pemanfaatan TI di
insitusi pendidikan dilihat dari sisi tinggi
rendahnya resistensi;
• Mengetahui target pola pikir dan pola tindak
yang harus dimiliki oleh setiap stakeholder
terkait dalam sebuah institusi pendidikan.
• Menjadi indikator aktivitas peningkatan
kinerja TI di sebuah institusi pendidikan dari
waktu ke waktu; dan
• Merupakan alat ukur perbandingan (baca:
benchmarking tool) antara satu institusi
pendidikan dengan lainnya.
5. REFERENSI
[1] Jatmiko Wibowo, Fandy Tjiptono, “Pendidikan
Berbasis Kompetensi”, Penerbitan Universitas
Atma Jaya, Yogyakarta, 2002.
Prosiding Konferensi Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi untuk Indonesia
3-4 Mei 2006, Aula Barat & Timur Institut Teknologi Bandung
120
[2] Drs. Martinus Yamin, MPd., “Strategi
Pembelajaran Berbasis Kompetensi”, Gaung
Persada Press, Jakarta, 2003.
[3] Dr. E. Mulyasa, MPd., “Implementasi Kurikulum
2004: Panduan Pembelajaran KBK”, Remaja
Rosdakarya, Bandung, 2004.
[4] Prof. Dr. H. Nanang Fattah, “Konsep
Manajamen Berbasis Sekolah & Dewan
Sekolah”, Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2003.
[5] Prof. Dr. H. A. R. Tilaar, MScEd., “Manajemen
Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa
Depan”, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung,
2004.
[6] Smart School Project Team, “The Smart School:
An MSC Flagship Application”, Government of
Malaysia, 1997.
[7] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 Tentang SISTEM PENDIDIKAN
NASIONAL.
TEKNOLOGI INFORMASI UNTUK INSTITUSI PENDIDIKAN
ABSTRAK
Salah satu ciri institusi pendidikan modern dewasa ini adalah dilibatkannya teknologi informasi dalam proses
penyelenggaraan kegiatan pendidikan. Telah banyak ditemukan di mana-mana lembaga pendidikan mulai dari
tingkat taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi yang berlomba-lomba memanfaatkan teknologi ini dalam
rangka meningkatkan kinerja belajar mengajar yang dilakukan. Terlepas dari berbagai spektrum pemanfaatan
teknologi informasi pada sistem pendidikan – yang menurut teori paling tidak terdiri dari tujuh peranan utama dan
sejumlah fungsi pendukung – kunci utama keberhasilannya terletak pada kesiapan para pemegang kepentingan
(stakeholder) terkait. Dalam konteks ini, paling tidak peranan dan pandangan pemerintah, orang tua, kepala
sekolah, pengajar, karyawan, dan peserta ajar akan sangat menentukan akselerasi implementasi teknologi tersebut
di sebuah lembaga pendidikan. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana sebuah institusi pendidikan dapat
mengukur tingkat keberhasilan pencapaian pemanfaatan teknologi informasi yang ada. Dengan berpegang pada
prinsip bahwa semakin tinggi tingkat keperdulian (awareness) para stakeholder institusi pendidikan akan semakin
mempercepat implementasi dan mempertinggi manfaat teknologi informasi yang dimiliki, maka perlu dikembangkan
sebuah kerangka pengukuran tingkat kematangan pihak pemegang kepentingan tersebut. Artikel ini memberikan
suatu usulan bagaimana caranya mengukur secara kuantitatif tingkat kesiapan para stakeholder yang dimaksud
dengan menggunakan metode kematangan (maturity model) yang banyak dipergunakan dalam berbagai kasus yang
membutuhkan hal serupa.
Kata kunci: tingkat kematangan (maturity model), pendidikan, pemilik kepentingan (stakeholder).
1. KONTEKS TI DALAM SISTEM
PENDIDIKAN
Fenomena keterlibatan TI (baca: Teknologi
Informasi) di dunia pendidikan telah menggejala di
berbagai negara, tak terkecuali Indonesia. Belajar
dari penerapan teknologi ini di beragam lembaga
pendidikan yang ada, paling tidak diketemukan tujuh
konteks atau peranan TI yang dimaksud. Pertama,
berasal dari kesadaran bahwa TI merupakan sumber
dari ilmu pengetahuan. Kenyataan ini dipicu dari
dihubungkannya berbagai sumber dan pakar ilmu
pengetahuan melalui sebuah jejaring raksasa yang
difasilitasi oleh teknologi internet. Kedua, adalah
fungsi TI sebagai alat bantu atau sarana
penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar maupun
aktivitas pembelajaran. Hal ini terkait dengan
semakin banyaknya para guru dan dosen
menggunakan berbagai peralatan teknologi untuk
membantu mereka memberikan penjelasan materi
ajar yang ada dalam berbagai bentuk ilustrasi visual
atau multi media yang menarik. Ketiga, merupakan
sebuah kondisi dimana pemahaman dan keterampilan
memanfaatkan TI dalam meningkatkan kinerja
penyelenggaraan pendidikan menjadi prasyarat
kompetensi yang harus dimiliki oleh sejumlah aktor
utama pendidikan, seperti guru, dosen, siswa,
peneliti, dan manajemen institusi pendidikan. Dalam
kerangka inilah maka sejumlah sekolah telah
mengharuskan pemberi maupun penerima mata ajar
pengetahuan untuk memiliki kompetensi dan
keahlian minimum dalam menggunakan peralatan
berbasis TI. Keempat, bermula dari kemampuan TI
dalam mentransformasikan berbagai bentuk
organisasi yang banyak bergantung pada sumber
daya fisik menjadi institusi virtual dengan dominasi
sumber daya elektronis. Konsep e-library, virtual
class, digital dashboard, distance learning, dan
electronic laboratory merupakan sejumlah contoh
penerapan TI pendidikan yang mampu
mentransformasikan konsep pendidikan masa kini.
Kelima, merupakan konteks yang dilihat dari sisi
Prosiding Konferensi Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi untuk Indonesia
3-4 Mei 2006, Aula Barat & Timur Institut Teknologi Bandung
117
institusi penyelenggara pendidikan, dimana TI
dipergunakan sebagai teknologi untuk membantu
manajemen atau tata kelola rangkaian aktivitas
pendidikan. Seperti halnya sebuah organisasi
komersial semacam perusahaan, institusi pendidikan
moderen akan menerapkan sistem administrasi
berbasis teknologi digital, seperti untuk melakukan
beraneka ragam kegiatan seperti: mencatat absensi
guru dan siswa, merekam aktivitas pembelajaran
sehari-hari, memperbaharui rekam jejak guru dan
kemajuan siswa, mengalokasikan sumber daya
terbatas seperti kelas dan sarana penunjang lainnya,
menginformasikan hasil ujian ke siswa via multi
kanal (internet, telepon genggam, dan lain-lain),
melakukan komunikasi secara interaktif antar
pemegang kepentingan (melalui email, mailing list,
newsgroup, dan lain-lain), dan aktivitas terkait
lainnya. Keenam, mengambil posisi dari
dipergunakannya beragam aplikasi TI untuk
menganalisa kinerja penyelenggaraan pendidikan
guna diproduksinya sejumlah keputusan maupun
kebijakan demi peningkatan kinerja institusi.
Aplikasi semacam sistem informasi eksekutif,
decision support system, dashboard management,
sistem pakar, sistem informasi manajemen, dan lain
sebagainya merupakan sejumlah ragam penerapan TI
yang dimaksud. Dan ketujuh, merupakan muara dari
keenam konteks yang ada, yaitu disadarinya TI
sebagai sebuah infrastruktur pendidikan moderen.
Dengan kata lain, peralatan berbasis digital ini mau
tidak mau harus mampu dimiliki atau diakses oleh
setiap lembaga pendidikan yang dimaksud. Terkait
dengan hal ini, kesadaran dalam mensisihkan
sejumlah sumber daya finansial untuk alokasi
investasi TI dianggap sebagai sebuah keharusan.
GAMBAR: KONTEKS TI DI DUNIA PENDIDIKAN
2. TUNTUTAN PEMEGANG KEPENTINGAN
Dengan memperhatikan trend global di dunia
pendidikan, maka jika dilihat secara cermat, masingmasing
konteks atau peranan TI yang telah
dikemukakan di atas memiliki pemilik
kepentingannya (stakeholder) masing-masing.
Berikut adalah inti sari dari posisi stakeholder yang
dimaksud terkait dengan posisi masing-masing
konteks TI dengan tipe stakeholder:
• Orang tua atau mereka yang mensponsori
peserta didik untuk masuk ke sebuah institusi
tertentu akan melakukan seleksi terhadap
berbagai lembaga pendidikan sejenis yang
menawarkan jasa-jasanya. Dianutnya
paradigma TI sebagai sumber ilmu
pengetahuan akan menjadi salah satu kriteria
utama yang dipakai oleh mereka dalam
menentukan pilihannya.
• Siswa yang masuk ke sebuah institusi
pendidikan akan menilai kualitas
penyelenggaraan pendidikannya dari
dipergunakannya beragam aplikasi TI oleh
para pengajar atau tidak, karena hal itu
merupakan ciri pendidikan moderen masa
kini.
• Yayasan atau pemilik institusi pendidikan
yang ada tentu saja akan mengalokasikan
sejumlah sumber daya keuangannya untuk
diinvestasikan dalam bentuk pengembangan
ragam aplikasi TI sebagai bagian dari
transformasi bentuk penyelenggaraan
pendidikan.
• Tenaga pengajar yang akan direktrut oleh
sebuah lembaga institusi pendidikan di masa
mendatang tentu saja yang harus memiliki
kompetensi dan keahlian dalam hal
menggunakan dan memanfaatkan komputer
dan peralatan teknologi terkait lainnya.
• Karyawan lembaga pendidikan pun harus
terampil menggunakan beragam aplikasi TI
untuk mendukung tugas dan aktivitas
operasional mereka sehari-hari dalam
mengelola berbagai hal dan keperluan terkait
dengan penyelenggaraan kegiatan belajar
mengajar.
• Pimpinan lembaga pendidikan, yang memiliki
tanggung jawab tertinggi dalam hal efektivitas
penyelenggaran jasa yang ditawarkan, harus
mampu melakukan analisa, pengawasan, dan
penilaian terhadap jalannya institusi yang
dipimpin. Oleh karena itu, yang bersangkutan
akan membutuhkan sejumlah aplikasi TI
untuk menunjang kegiatan strategis tersebut.
Prosiding Konferensi Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi untuk Indonesia
3-4 Mei 2006, Aula Barat & Timur Institut Teknologi Bandung
118
• Pemerintah dalam hal ini, sebagai pemegang
kebijakan tertinggi dalam sistem pendidikan di
tanah air, harus mampu membuat terobosan
agar setiap institusi pendidikan nantinya tidak
mengalami kesulitan dalam mengadakan atau
mengakses berbagai infrastruktur teknologi
yang diperlukan dalam meningkatkan kinerja
penyelenggaraan belajar mengajar tersebut.
GAMBAR: PEMEGANG KEPENTINGAN TI PENDIDIKAN
3. PENGUKURAN TINGKAT
KEMATANGAN STAKEHOLDER
Dengan berpegang pada ketujuh tipe stakeholder
tersebut, maka dapat dibuat sebuah pendekatan
ringkas pengukuran tingkat kematangan para
stakeholder tersebut. Mengacu pada standar tingkat
kematangan yang diprakarsai oleh Software
Engineering Institute – ketika yang bersangkutan
memperkenalkan konsep Capability Maturity Model
– dan diadopsi oleh sejumlah pakar dan praktisi
dalam berbagai pendekatan konsep serupa, ada enam
level kematangan yang dimaksud. Dalam konteks
implementasi TI bagi pendidikan, keenam tingkatan
yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Tingkat Istilah Keterangan
0 Ignore Tidak perduli
1 Aware Perduli, tanpa aktivitas.
2 Plan Ada rencana, tanpa aksi.
3 Execute Menerapkan aplikasi.
4 Measure Mengukur kinerja.
5 Excel Meningkatkan kualitas.
TABEL: TINGKAT KEMATANGAN STAKEHOLDER
Seorang pemegang kepentingan atau stakeholder
dikatakan berada pada level 0 jika yang bersangkutan
sama sekali tidak perduli dengan konteks TI dalam
dunia pendidikan. Sementara nilai 1 diberikan kepada
mereka yang secara paradigmatik sepakat akan
pentingnya TI untuk pendidikan, namun tidak
memperlihatkan sejumlah usaha atau aktivitas yang
mendukung prinsip tersebut. Selanjutnya angka 2
diberikan kepada stakeholder yang telah memiliki
rencana untuk menjalankan sejumlah aksi terkait
dengan pengadaan dan implementasi aplikasi yang
ada sesuai dengan peranannya, namun belum
melakukan kegiatan nyata apapun (baca: rencana di
atas kertas). Tingkat minimum yang ditargetkan
adalah 3, dimana stakeholder yang dimaksud telah
secara sungguh-sungguh menerapkan aplikasi atau
peranan TI yang dimaksud dalam wilayah
kepentingannya. Level berikutnya adalah 4, dimana
sang stakeholder telah berani melakukan pengukuran
secara kuantitatif maupun kualitatif terhadap tingkat
efektivitas atau kesuksesan penerapan TI yang ada.
Dan akhirnya nilai tertinggi 5 diberikan kepada
stakeholder yang secara kontinyu dan
berkesinambungan berusaha untuk meningkatkan
kualitas implementasi TI-nya (baca: best practice).
Memperhatikan bahwa setiap stakeholder memiliki
sifat dan karakteristik yang unik, maka tabel
kematangan yang ada perlu dikembangkan lebih
lanjut agar lebih mencerminkan keadaan perilaku
yang sebenarnya. Contohnya misalnya untuk
stakeholder orang tua atau sponsor siswa. Arti dari
angka kematangan tersebut jika diimplementasikan
dalam konteks kebutuhan mereka adalah sebagai
berikut:
0. Jika yang bersangkutan tidak perduli
apakah siswa yang disponsorinya akan
diserahkan kepada lembaga yang
menerapkan TI atau tidak.
1. Jika yang bersangkutan perduli akan perlu
adanya TI dalam sebuah institusi
pendidikan, namun tidak dijadikan kriteria
signifikan dalam pemilihan lembaga
pendidikan bagi siswa.
2. Jika yang bersangkutan memberikan
nasehat kepada siswa untuk memilih hanya
institusi pendidikan yang di dalamnya telah
memanfaatkan TI sebagai fasilitas dan
sarana penunjang kegiatan belajar
mengajar.
3. Jika yang bersangkutan mengharuskan
siswa yang disponsorinya untuk melamar
hanya pada institusi pendidikan yang telah
menerapkan TI.
4. Jika yang bersangkutan mengadakan
komparasi antara satu institusi dengan
lainnya dalam hal efektivitas penerapan TI
di lembaga tersebut.
5. Jika yang bersangkutan hanya mau
mensponsori siswa terkait dapa institusi
pendidikan yang dikenal sebagai lembaga
Prosiding Konferensi Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi untuk Indonesia
3-4 Mei 2006, Aula Barat & Timur Institut Teknologi Bandung
119
terbaik dalam menerapkan TI untuk belajar
mengajar.
Dengan melakukan hal yang sama terhadap semua
tipe stakeholder, tabel yang diinginkan pun dapat
dibangun.
GAMBAR: TINGKAT KEMATANGAN DAN PERILAKU BERAGAM STAKEHOLDER TI PENDIDIKAN
4. NILAI STRATEGIS PENGUKURAN
Seperti halnya pada konsep yang lain, mengukur
tingkat kematangan pemanfaatan TI di dunia
pendidikan akan memberikan sejumlah manfaat
sebagai berikut:
• Mengetahui sejauh mana sebuah institusi telah
memanfaatkan secara penuh potensi TI bagi
kebutuhan peningkatan kinerja pendidikan
tinggi;
• Mengkaji kesiapan stakeholder sebuah
institusi pendidikan saat ini untuk
dipersiapkan manajemen perubahan yang
cocok;
• Memperkirakan resiko yang akan dihadapi
dalam proses sosialisasi pemanfaatan TI di
insitusi pendidikan dilihat dari sisi tinggi
rendahnya resistensi;
• Mengetahui target pola pikir dan pola tindak
yang harus dimiliki oleh setiap stakeholder
terkait dalam sebuah institusi pendidikan.
• Menjadi indikator aktivitas peningkatan
kinerja TI di sebuah institusi pendidikan dari
waktu ke waktu; dan
• Merupakan alat ukur perbandingan (baca:
benchmarking tool) antara satu institusi
pendidikan dengan lainnya.
5. REFERENSI
[1] Jatmiko Wibowo, Fandy Tjiptono, “Pendidikan
Berbasis Kompetensi”, Penerbitan Universitas
Atma Jaya, Yogyakarta, 2002.
Prosiding Konferensi Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi untuk Indonesia
3-4 Mei 2006, Aula Barat & Timur Institut Teknologi Bandung
120
[2] Drs. Martinus Yamin, MPd., “Strategi
Pembelajaran Berbasis Kompetensi”, Gaung
Persada Press, Jakarta, 2003.
[3] Dr. E. Mulyasa, MPd., “Implementasi Kurikulum
2004: Panduan Pembelajaran KBK”, Remaja
Rosdakarya, Bandung, 2004.
[4] Prof. Dr. H. Nanang Fattah, “Konsep
Manajamen Berbasis Sekolah & Dewan
Sekolah”, Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2003.
[5] Prof. Dr. H. A. R. Tilaar, MScEd., “Manajemen
Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa
Depan”, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung,
2004.
[6] Smart School Project Team, “The Smart School:
An MSC Flagship Application”, Government of
Malaysia, 1997.
[7] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 Tentang SISTEM PENDIDIKAN
NASIONAL.
0 komentar:
Post a Comment